Pagi ini seorang kawan dalam
jaringan perburuhan mengirimkan email berisi kegelisahan akan anak-anak bangsa
yang telah menjadi begitu konsumeris, atau hedonis dalam bahasanya. Masih
sekecil anak-anak SD sudah akrab dengan semua jenis handphone, blackberry,
bahkan mobil-mobil edisi terakhir.
Memang tak banyak artinya kita hanya
mencela tanpa mencari hal-hal yang secara prinsipial bisa dipraktekkan sebagai
pribadi, sebagai keluarga, sebagai bangsa. Pikiranku jelalatan mencari apa yang
bisa kita lakukan.
Saya teringat contoh ini. Sebuah
keluarga Indonesia beranak empat yang tinggal di Delaware mengisahkan
bagaimana mengubah anak-anak yang semula tak suka sayur akhirnya bisa dan
terbiasa makan sayur. Sang ibu melatih anak dengan sebuah pertanyaan, “Apakah
saya (badan saya) memerlukan sayur?” Akhirnya, tanpa dikomando anak-anak itu
bisa dan terbiasa mempertimbangkan sendiri untuk memakan sayur atau apapun yang
semula ia tak suka.
Berkaca dari contoh itu saya seolah
tak berhak ngomel bila anak-anak terjebak hedonisme, karena kita sendiri gagal
melatih diri dan keluarga untuk memilih karena membutuhkan, bukan karena
mengingini. Ada banyak cara untuk menanamkan cara pikir ini, yakni dengan
melatih setiap anak mempertimbangkan apakah barang yang kita inginkan sungguh
membawa manfaat, apakah sungguh merupakan kebutuhan?
Tentu ini tida segampang teori,
anak-anak juga pandai menjawab. Pernah saya dibuat kelabakan oleh pertanyaan
saya untuk merefleksikan betapa merugikan orang tua kalau anak-anak menyontek,
dan anak-anak menjawab: justru menguntungkan, karena membuat sekolahnya cepet
selesai, menyenangkan orang tua dengan nilai yang baik. Kembali pada gejala
konsumtif, pastilah banyak anak, bahkan banyak orang tuanya yang bisa berkilah
bahwa semua itu bermanfaat bagi mereka untuk kontak keluarga, tambah teman,
keselamatan anak, agar anak-anak tidak gaptek seperti bapaknya, dan sebagainya.
Ya, semua ada alasannya. Tugas kita adalah menjadi cerdik memiliki atau
tidak memiliki, menggunakan dengan cara sebijak-bijaknya.
Perintah untuk menjadi cerdik
seperti ular tentulah bukan perintah untuk ngakali orang saja, tetapi
perintah untuk ngakali dunia, agar kita tidak dimanfaatkan, sebaliknya bisa
memanfaatkan segala sesuatu secara maksimal dan optimal, sebesar-besarnya dan
sebaik-baiknya. Entah soal suka atau tidak suka, kita memang perlu membiasakan
anak mempertanyakan manfaat, bukan sekedar manfaat sesaat, tetapi juga manfaat
untuk masa depan umat manusia.
Sebagai bangsa, kita terkenal
sebagai negara konsumer. Dua hari lalu aku denger radio yang mengatakan
Indonesia adalah bangsa pemakai facebook terbesar ke dua di dunia. Yang pertama
entah negara mana, mungkin Amerika sendiri. Dan di sebuah buku tercatat
kombinasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina merupakan 60% pemakai facebook.
Bukan soal facebooknya, sayapun memakai jaringan itu, tetapi alat yang dipakai
facebook tentulah alat elektronik yang kebanyakan diproduksi negara lain. Jelas
sekali kita adalah pangsa pasar yang dilihat dari bangsa lain sebagai bangsa
pasar.
Seperti apapun lukanya pola hidup
kita, negara lain atau produsen tak peduli. Kini tak banyak artinya kalau kita
mencurahkan tenaga untuk mencela orang lain, kita yang harus bekerja keras
setiap hari untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan baru bagi keluarga dan bangsa.
(Rm. Ignatius Suparno CM)
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.35 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar