SATU MEI, MENGANGKAT MARTABAT KERJA
Pada awalnya Satu Mei atau May
Day adalah hari festival tradisional musim semi berbagai negara Eropa. Satu Mei
menjadi hari peringatan buruh semenjak Tahun 1886, ketika terjadi pembantaian
buruh yang sedang memperjuangkan batasan 8 jam sehari kerja. Pada tahun 1955
Gereja Katolik mendedikasikan Satu Mei dalam perlindungan Santo Yusup, pekerja,
sang tukang kayu, ayah dunia bagi Yesus, Sang Penyelamat. Secuil fakta sejarah tersebut mengatakan garis
merah yang sangat jelas, bahwa Satu Mei adalah perayaan martabat manusia dan
martabat kerja bagi manusia.
Martabat Kerja dan Etos Kerja
Secara cukup gamblang Gereja dalam dokumen Laborem
Exercens (1981) memaknai kerja sebagai partisipasi manusia dalam
karya penciptaan. Melalui kerja pribadi manusia
ikut serta dalam kegiatan kreatif Allah. Melalui kerja pula manusia bekerja sama dengan Allah
untuk menyempurnakan ciptaan. Dalam arti tertentu, Kitab Kejadian adalah “Injil Kerja” yang pertama. Allah bekerja hingga hari ke enam, dan beristirahat
pada hari ke tujuh. Dengan pemahaman
itu kerja tak lagi menjadi kutuk dosa manusia, melainkan berkat, sehingga manusia terus bisa bersatu dengan
Allah dalam penciptaan dan penyempurnaan.
Santo Yusup pantaslah dihargai tinggi dalam pemahaman
ini, karena Ia telah menunjukkan kesetiaan sebagai seorang pekerja, menghidupi
keluarga, dan menanamkan nilai-nilai tanggungjawab dan kerja kepada Yesus. Tak ada catatan lengkap
dalam Injil tentang bagaimana Santo Yusup bekerja sehari-hari. Injil lebih mencatat
bagaimana St. Yusup bertanggung jawab pada peristiwa-peristiwa genting Yesus
mulai saat kandungan Maria hingga Yesus berumur dua belas tahun. Pastilah etos
pengabdian seperti itu mewarnai karakter dan totalitas Yesus.
Spiritualitas ini tak selalu mudah ditangkap. Masih
ada sekian banyak orang yang melihat kerja sebagai sebuah kutukan. Kalangan
demikian menandai pencapaian suksesnya dengan
tidak bekerja. Sebaliknya ada banyak orang yang tidak pernah berhenti memaknai
kerja sebagai berkat. Mereka menghargai kerja sebagai sebuah kesempatan indah
untuk mewujudkan diri, untuk melayani Tuhan dan sesama, dan melihat sukses
sebagai sebuah panggilan untuk melayani Tuhan secara berkelanjutan.
Martabat
Kerja dan Martabat Manusia
Tak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan
kenyataan-kenyataan pahit manusia. Ada sekian banyak umat manusia, juga yang
ada di sekitar kita, yang harus bekerja belasan jam, dua shift kerja, bahkan hampir dua puluh empat jam, bukan karena workaholic
atau gila kerja, melainkan karena tuntutan ekonomi keluarga. Bahkan ada sekian
banyak orang yang tidak mendapatkan imbalan yang berimbang dari kerja kerasnya
tersebut. Terhadap semua ini keprihatinan kita tak berhenti sekedar pada
kemiskinan dan kesenjangan, tetapi pada tergusurnya martabat manusia oleh
kebutuhan dan oleh sistem yang tidak adil.
Kenyataan-kenyataan di atas membuat Satu Mei tetap
relevan bagi umat manusia. Satu Mei bukanlah sekedar hari pengorganisiran
buruh. Satu Mei adalah sebuah monumen perjuangan manusia untuk menghargai martabat
manusia dan martabat kerjanya. Batasan jam kerja yang diperjuangkan pada tahun
1886 hanyalah sepenggal upaya untuk menghargai harkat dan martabat manusia yang melebihi uang ekstra yang
diperoleh dengan sisa-sisa tenaga manusia yang memaksakan diri untuk
bekerja. Kini adalah tanggung jawab kita
untuk memulihkan manusia dari luka-luka. Peringatan Santo Yusup, Satu Mei, bisa
menjadi tonggak untuk penghormatan kembali martabat manusia dan kerja.
Oleh : Rm. Ignatius Suparno CM
Dimuat dalam buletin fides et Actio edisi No.58, April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar