Sore itu cerah, kuparkir motorku disamping
sanggar dan kulihat banyak anak sudah berkumpul. Di teras sanggar beberapa anak
usia TK-SD kelas 3 bergerombol dengan salah satu pendamping. Aku masuk dan ikut
nimbrung dengan anak yang lebih dewasa sekitar SD kelas 4 keatas. Ada yang asik
makan rambutan dan sepasang sedang bermain catur. Aku mengikuti jalannya
permainan catur itu sampai seorang bocah curhat kepadaku masalah sekolahnya tetapi
aku tak menyadarinya. Si bocah itu menepuk pahaku, “ mbak rungokno aku ta”.
Aku pun terkejut. Dalam hati aku tadi melamun atau asik mengikuti permainan
catur ya. Hari-hari ini otakku serasa ruwet full
sampai-sampai bocah itu curhat soal sekolahnya tetapi aku hampir tak bisa
memberinya solusi, motivasi ataupun nasehat. Yang bisa kulakukan hanya
mendengarkan dengan seksama. Walaupun hanya didengar, dari raut wajahnya nampak
sumringah lega bisa mengeluarkan uneg-unegnya.
Kegiatan pun beralih ke latihan persiapan
pentas. Sebagian anak yang telah dipilih untuk tampil di pentas langsung
mengambil posisi masing-masing. Sedangkan aku beranjak ke teras untuk
mendampingi anak-anak yang sedang menggambar. Sesekali aku memperhatikan
anak-anak yang sedang latihan. Celometan
dan tingkah mereka bebas banget dan kocak, membuat orang yang nonton senyum-senyum
kadang tertawa geli. Sampai-sampai pendamping yang sedang melatih kewalahan
untuk mengajak konsentrasi. Yah… tapi itulah anak-anak.
Entah awalnya bagaimana tiba-tiba kami
pendamping sedang membahas salah satu anak. Anak itu lincah dan menyenangkan.
Tapi ternyata dibalik semua itu ada kisah yang memilukan. Ia habis dihajar oleh
ayahnya lalu ketempat ibunya berharap mendapat perlindungan ternyata malah
dihajar pula. Akhirnya ia kabur dari rumah dan diberi tumpangan oleh pemilik
warnet. Seusai anak-anak pulang dan sanggar mulai sepi tiba-tiba mendengar
kabar bahwa ibu anak tersebut meninggal. Hmm.. barusan saja dibahas kasusnya eh
sekarang nambah lagi ujian anak itu.
Kami para pendamping menyusul ke rumah duka.
Anak itu menangis sejadi-jadinya. Air mataku pun hampir tumpah. Beberapa menit
yang lalu anak itu tertawa terbahak-bahak dengan teman di sanggar,
pulang-pulang mendengar kabar ibunya telah tiada. Tak sempat ia berdamai dengan
ibunya, sekarang melihat tubuh ibunya terbujur kaku tepat 8 hari lagi dia genap
berusia 11 tahun.
Jika aku
melihat dengan kacamataku, begitu banyak ujian yang ia hadapi di usianya yang
sangat dini. Hidup pisah dari orang tua, sekarang malah kehilangan salah satu
orang tuanya. Dulu ketika usiaku sebelas tahun adalah masa-masa yang
menyenangkan. Masa dimana aku dapat bermanja dan bersenda gurau dengan orang tuaku.
Dengan menoleh ke kehidupan anak itu, membuatku bersyukur atas ujianku
sekarang. Berhari-hari merenungi ujian tidak ada gunanya. Memang sudah saatnya
beranjak dan menjalaninya. Semoga anak itu selalu dapat bertahan di setiap lika-liku
kehidupan dan dapat mengejar mimpi-mimpinya.
Oleh : Veronika
Sari Fuji
Dimuat dalam buletin Fides et
Actio edisi No.58, April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar