Wajahnya
sederhana, lugu, lebih keren disebut ndeso. Setiap hari rajin menghadap Sang Penciptanya
di gereja. Tidak peduli panas atau hujan bukan halangan baginya untuk tidak
menyapa Tuhannya. Sepeda ontel
dikayuhnya setiap pagi menuju gereja sambil menyapa bapak-bapak becak dan
satpam di depan gereja dengan ucapkan selamat pagi.
Dia
dilahirkan dalam keluarga besar 10 bersaudara. Ada yang menjadi pengusaha ada
beberapa yang menjadi dokter. Tapi rupanya dia sendiri yang secara finansial
paling tidak beruntung. Dia hidup sederhana dengan istri dan anaknya di kampung,
sehingga saudara-saudaranya enggan mengunjungi, karena tidak ada tempat parkir
yang nyaman untuk mobil-mobil mewah mereka.
Saudara-saudaranya
memanggil dia Ugik, yang menurutku nama yang agak aneh terdengar di telinga. Dia
bukan pengusaha atau dokter tapi hanya seorang Tukang Ndandani Montor, bahasa kerennya: Mekanik Mobil.
Yang aku sangat geli, dia sering menyebut dirinya dokter. Ya katanya kalau
kakak dan adiknya dokter manusia, dia dokternya mobil. Dia sangat bangga dengan
profesinya, meskipun itu profesi yang tidak dapat membuat anak istrinya menjadi
cukup sandang dan pangan. Orang selalu
berpikir sekali turun mesin akan mengalir jutaan uang di tangannya. Oh ternyata
tidak. Dia orang yang lugu, jarang mematok harga. Andaikan mematok harga, pasti
di bawah harga pasar.
Aku melihat
istrinya kadang mengeluh. Andaikan dia mendapat uang Rp. 1.000.000,- maka Rp.
500.000,- diberikan pada kernet/ pembantunya, dia mengambil Rp. 100.000,- untuk
isi dompetnya dan Rp. 400.000,- akan diserahkan pada istri untuk menghidupi
seisi rumah. Sebuah pikiran yang tidak nalar sebagai manusia. Dia selalu
mengatakan pada istrinya, bahwa pembantunya jauh lebih membutuhkan. Wah wah wah
istrinya hanya diam seribu bahasa sambil
berlinang air mata dan itu berjalan dari tahun ke tahun. Dia selalu menanamkan
sebuah pemikiran bahwa membantu orang lain jauh lebih penting daripada
memikirkan diri sendiri.
Bukan itu
saja yang kukagumi, dia tidak pernah menolak bila ada orang yang telepon karena
mobilnya mogok di jalan dan harus segera ditangani. Pernah dia tergesa-gesa
menghabiskan makan malamnya hanya karena ada mobil mogok di jalan tol. Pernah
juga dia meninggalkan anaknya yang sakit dan diserahkan semua pada istrinya,
hanya karena lagi-lagi menolong mobil mogok di jalan. Apakah dia mendapat
imbalan dari semua itu? OH TIDAK. Saat-saat mobil mogok di jalan, dia membayangkan
pengguna mobil itu pasti sangat panik dan susah, maka dia menolong dengan tulus
tanpa meminta apapun. Kalau diberi syukur, tidak diberi ya syukur. Orang normal
pasti menganggap itu adalah hal yang gila…
Sayangnya,
Sang Pencipta yang begitu mencintainya telah memanggilnya pulang ke
pangkuanNya. Kepergiannya tidak diiringi tangis anak istrinya tapi diiringi
kebanggaan yang luar biasa. Pak Dokter pergi diiringi sekitar 300 pelayat yang
terhenyak atas kepergiannya. Dia bukan orang kaya dan hebat namun hanya seorang
tukang yang sederhana, tapi begitu banyak yang merasa kehilangan. Andaikan dia
sungguh dokternya manusia entah akan berapa banyak nyawa yang akan ditolongnya.
Ya hidup memang sebuah pilihan dan sang dokter telah memilih yang terbaik.
Penulis: Wike
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No. 59, Mei
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar