Baru kali ini aku ke pemakaman
dengan situasi sangat tidak bersahabat, hujan dan makamnya seperti sawah yang
baru dibajak dan penuh air sampai ukuran diatas mata kakiku. Saat peti jenasah
Joe dimasukkan liang lahat aku lebih senang mengatakan diceburkan, karena
dimasukkan berarti keadaan tanah kering sedangkan makam ini wah penuh air. Aku
tidak tega karena peti mengapung diatas air. Aku juga gelisah karena takut ada
cacing dikakiku. Selesai pemakaman, aku panik karena romo kok tidak kelihatan.
Celingak celinguk aku mencari, ternyata romo dengan cepat bergegas menuju
mobilnya dan membersihkan kakinya. Tanpa berlama lama aku segera ke mobil romo,
karena kalau tidak, aku akan pulang dengan siapa. Tidak ada yang kukenal dan
makam ini jauh dari rumahku. Saat dirumah duka aku sudah bimbang mau ikut
kemakam, atau tidak ya, tapi dengan siapa, karena tidak ada yang kukenal. Ada 1
temanku, itupun dia tidak bisa ikut ke makam karena harus segera masuk kerja.
Tapi kalau tidak ikut aku sangat tidak tega. Syukurlah aku menemukan seorang
romo yang kukenal dan aku diijinkan ikut ke mobilnya, lega rasanya.
Beberapa tahun yang lalu aku
di sms teman dan memberitahu kalau Joe ( teman sekolahku dulu) sakit lumayan parah. Aku diajak menjenguk dengan
beberapa teman yang lain. Aku terbayang masa laluku. Sosok Joe yang sangat
tidak kusuka. Putra seorang pejabat yang ya ampun sangat tidak menyenangkan. Istilah Jawanya MEKITIK POL. Aku bisa
membayangkan wajah itu dengan jelas, sehingga aku tidak punya selera sedikitpun
untuk menjenguknya. Seorang temanku berkata, apa gunanya aku bisa membangun
umat, menjadi pendoa, menjadi pendamping umat yang kesulitan, tapi tidak mau
menoleh pada Joe. Dengan banyak pertimbangan akhirnya kuputuskan ikut teman-teman
menjenguk Joe.
Aku terhenyak. Rumahnya di
kampung ( aku juga di kampung) tapi masih harus melalui lorong kecil seperti
gang kelinci yang harus melewati jemuran-jemuran baju orang lain. Rumahnya
kontrakan yang kecil sekali dimana yang bisa masuk ruang tamunya hanya sekitar
4 orang berdesakan. Sungguh pemandangan yang tidak pernah kubayangkan. Joe
tergeletak disebuah tempat tidur di ruang sesudah ruang tamu. Aku melihat mata
yang luar biasa, mata yang mohon doa dari semua yang menjenguknya. Puluhan
tahun aku tidak bertemu dengannya. Aku berfikir ternyata hidupku jauh lebih
baik meskipun aku tidak pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi, sedangkan
Joe lulus dengan baik sebagai seorang sarjana. Joe menyambut kami dengan hangat
dan dia banyak cerita tentang sakitnya.
Ada sesuatu yang mengusik hati
kecilku sejak perjumpaan itu. Meskipun tanpa teman-teman, di hari-hari
berikutnya dengan seijin suamiku aku sempatkan menjenguknya, memberi semangat,
membacakan kitab suci dan berdoa untuknya. Tiba-tiba kebencianku luluh begitu
saja. Aku melihat kondisi badannya makin
lebih segar dan membaik. Aku juga berusaha untuk mengatur bagaimana caranya
agar anak-anak Joe bisa tetap sekolah tanpa tersendat. Puji Tuhan aku dapatkan
donatur yang mau membiayai dua anak Joe. Para donatur tidak ingin Joe tau siapa
mereka. Joe tahunya aku yang mengatur semuanya. Aku sendiri yang harus
berhubungan langsung dengan pihak sekolah. Wira wiri ke sekolah, ke bank mengurus
uang sekolah anak-anak Joe tiap bulan merupakan seni tersendiri dan aku
menikmatinya. Sebuah bentuk pelayanan baru yang
tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tidak punya harta. Aku hanya
punya tenaga, doa dan kasih untuk melayani Joe. Sering kali dalam kegalauan
tengah malam Joe sms aku dan meskipun mengantuk aku tetap melayani,
menguatkannya.
Rencana Tuhan tidak selalu
seiring dengan rencana manusia. Beberapa waktu aku mendengar kabar kondisi Joe
makin menurun. Aku dan teman-teman terus membawa dalam doa. Ya tapi rupanya
sudah waktunya Joe harus kembali ke pangkuan Bapa. Dia telah berjuang begitu
lama menghadapi sakitnya. Wajah Joe membayangi mataku tapi aku bersyukur telah
menebus semua kebencianku dengan memberikan apa yang bisa kuberikan pada Joe.
Joe sudah tiada tapi aku bersyukur para donaturku masih setia mengurus sekolah
anak-anak Joe dan kurasa hal itu akan membuat arwah Joe tenang diatas sana.
Selamat jalan Joe, maafkan aku yang dulu tidak menyukaimu. Aku percaya kamu
telah bahagia bersama Bapa.
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.47, Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar