Sebagaimana biasa saya lakukan,
pada suatu hari, saya mengawali homili saya di daerah perkampungan para
pemulung di Payatas (Filipina) dengan sebuah pertanyaan.
“Bayangkanlah
situasi ini,” kata saya kepada umat di sana. “Anda sedang menghadapi sebuah
persoalan hidup yang sangat rumit sampai Anda merasa nyaris putus asa. Kemudian
Allah datang pada suatu pagi; Ia mau dan bersedia menolong Anda.”
“Allah
macam apakah yang lebih Anda sukai? Dia yang datang kepada Anda dengan segala
kuasa dan kemuliaann-Nya; dan Dia memberitahukan kepada Anda bahwa Dia akan
memberikan semua uang yang Anda perlukan untuk membereskan persoalan Anda seketika itu juga dan di tempat itu? Atau Dia
yang kelihatannya seperti orang kebanyakan, tampak biasa-biasa saja, dan
memberitahu Anda bahwa Ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada Anda,
namun Ia mau menemani Anda sampai Anda menyelesaikan masalah Anda
perlahan-lahan?”
Pertanyaan
saya: “Allah macam apakah yang lebih Anda sukai? Dan mengapa?”
Lalu dua orang ibu dengan suka
rela maju mengambil mikrofon. Mereka berdua mengatakan bahwa mereka lebih suka
dengan model yang kedua. Alasan utama mereka adalah: Allah dalam model pertama,
meskipun kaya dan penuh kuasa, tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan; sebaliknya
Allah dalam model yang kedua, meskipun sederhana, biasa-biasa saja dan miskin,
Dia sudi pergi menemanimu sepanjang jalan. Allah tidak harus “besar” dan dahsyat!
Yang kita butuhkan adalah seseorang seperti kita yang dapat mendengarkan.
“Kecil
Itu Indah” – merupakan judul sebuah buku yang pernah saya baca bertahun-tahun
yang lalu. Buku itu menguraikan dengan baik pesan dari perumpamaan Tuhan Yesus
tentang biji sesawi yang sering kita baca dalam Injil, yakni Injil Markus 4:
26-34. Kerajaan Allah itu “seumpama biji sesawi yang merupakan biji yang paling
kecil dari semua biji yang ditaburkan di muka bumi ini. Tetapi begitu ia
ditaburkan, biji itu tumbuh dan menjadi tanaman yang besar dengan
cabang-cabangnya yang besar sehingga burung-burung di udara dapat hinggap pada
cabang-cabangnya dan berteduh.”
Allah
kita adalah Allah yang kecil. Dan Kerajaan-Nya juga kecil. Sebagaimana
benih-benih yang ditaburkan itu, benih-benih itu tidak berbuah seketika itu
juga. Kerajaan Allah itu bertumbuh dengan berproses, perlahan-lahan seperti
tanaman, bunga, binatang dan banyak hal di dalam kehidupan ini. Seperti dikatakan
sebuah peribahasa dalam bahasa Cebu, “bisa'g
hinay basta kanunay” –
yang berarti “segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bila dikerjakan dengan
ajeg meskipun perlahan-lahan”.
Menurut
saya, ada banyak cara untuk menyampaikan pesan perumpamaan tentang Kerajaan
Allah ini. Pernah saya dengar kotbah-kotbah ini: pada zaman dahulu, Gereja itu
kecil. Tetapi lihatlah sekarang… Gereja telah bertumbuh menjadi begitu besar.
Lihatlah keagungan liturginya, yang memberi inspirasi kepada seniman-seniman
besar, organisasi Gereja yang membuat banyak pihak merasa iri, sikap-sikap
resmi Gereja atas aneka persoalan – sikap yang bisa memberi pengaruh yang
begitu kuat. Syukur kepada Allah yang membuat biji sesawi itu bertumbuh! Dengan
semua tanda ini, tentu saja kita adalah Gereja yang benar.
Namun,
pertama-tama, Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah. Gereja tidak pernah
dapat menyerupai Kerajaan Allah. Gereja hanya dapat mengupayakan yang terbaik dari
dirinya untuk bisa serupa dengan Kerajaan Allah. Meskipun demikian, Injil
sesungguhnya tidak berbicara tentang keagungan, melainkan tentang kesederhanaan;
bukan tentang kemegahan, melainkan tentang hal-hal yang bersahaja, bukan
tentang kebesaran, melainkan tentang yang kecil. Kisah Gereja telah menjadi
begitu agung sehingga ia tidak memiliki waktu untuk mendengarkan kisah-kisah
yang kecil. Liturginya telah menjadi rumit dan anggun sehingga ia tidak lagi
merayakan hal-hal sehari-hari. Organisasinya penuh dengan hal-hal yang pelik
dan megah sehingga ia tidak dapat lagi berjalan bersama dengan orang-orang yang
sederhana dan kaum jelata.
Di
daerah Payatas ini saya juga mendengarkan harapan-harapan dari sejumlah ibu
yang berbicara dengan saya beberapa tahun yang lalu. Saya memberitahu mereka
bahwa saya akan berbicara dalam sebuah konferensi tingkat dunia di mana akan
hadir uskup-uskup, imam-imam, suster-suster dan pemimpin-pemimpin awam.
Andaikan saja ibu-ibu dari Payatas ini mendapatkan kesempatan serupa, apakah
yang ingin mereka sampaikan kepada para pemimpin Gereja? Saya mendengar dua
jawaban utama.
Yang
pertama berkaitan dengan organisasi Gereja: “Jangan terlalu kaku. Begitu sulitnya mendekati Gereja. Aturan-aturannya
begitu ketat dan tidak fleksibel..”
Yang
kedua menyangkut kesetiakawanan atau solidaritas: “Saya
berharap bahwa Anda kalian tidak akan terlalu jauh dari kami. Tinggallah
bersama kami. Jadilah satu dengan kami maka kalian akan mengerti siapa kami.
Dengan cara demikian, kami pun akan merasakan bahwa Yesus bersatu dengan kami
di tengah-tengah tumpukan sampah ini.”
Gereja
kaum miskin…. Dimana engkau?
Oleh Rm. Daniel F. Pilario CM
(Anggota
Kongregasi Misi/CM Provinsi Filipina)
Dimuat dalam
buletin fides et Actio edisi No.63, September 2015
#
Disadur oleh Rm. Rafael Isharianto CM dari tulisan kecil berjudul “Small Is
Beautiful” yang dikirimkan oleh penulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar