Perawakannya gempal dan berkulit gelap. Aksen maduranya pun sangat
kental ketika berbicara. Tingginya juga tak sampai 160 cm. Jika bukan kaos
oblong lusuh pasti kemeja lecek yang dipakainya. Terkadang topi berwarna yang
sudah tak lagi terlihat warna aslinya, turut hinggap di kepalanya. Kawan sejawatnya
biasa memanggilnya Murin.
Sambil menunggangi kuda
besi yang menarik gerobak pengangkut rejekinya yang kosong, ia mendatangi
lokasiku bekerja. “Sampaaaah!” seruan yang menggema nan melengking keluar dari
bibirnya setelah membuka pintu pagar. Untuk kedua kalinya ia kembali ke Jl.
Kinibalu No. 41, Surabaya. Siang itu ia tak singgah untuk mengambil sampah
melainkan dimintai tolong mengangkut sisa rosokan hasil dari bersih – bersih
lantai atas rumah kerjaku.
Dengan ditemani anak lelakinya yang bertubuh tambun, ia berjalan
menuju ke 5 karung rosokan yang berada di pojok teras rumah kerjaku. Lalu mengangkatnya
dan memindahkan satu persatu ke dalam gerobak yang terparkir di pinggir jalan. Disaat
yang sama salah seorang teman kerja memanggil tuk mengingatkanku. “Gus, uang untuk Murin!” ucapnya. Segera aku
ambilkan uang yang telah kusiapkan di atas meja kerjaku. Belum sempat keluar
pintu rumah untuk memberikan ongkos angkut, satu lagi rekanku mengampiri untuk
memintaku mengambilkan peralatan sekolah. Seketika itu pula kuambilkan sepaket
peralatan sekolah dari lokasi penyimpanan logistik. Lalu aku pun keluar rumah
untuk menghampiri Rizky nama anak Murin yang saat itu nyaris selesai menggotong
karung isi rosokan. Kuberikan obat lelah kepadanya berupa selembar uang pecahan
dua puluh ribu untuk sang ayah dan sepaket peralatan sekolah untuknya. Bentuk
pipinya yang tembem seperti kue apem, membuat senyum bahagianya terlihat lucu
dikala Ia menerima pemberian dariku.
Melihat anaknya menerima alat tulis dariku, Murin yang asyik
mengatur muatannya tiba – tiba berseru pada putranya, “Itu loh dapat hadiah!” Lalu
Rizky pun bertolak dariku untuk menghampiri ayahnya yang ternyata telah selesai
merapikan isi muatan. Kemudian ucapan terima kasih terlontar dari bibir
keduanya. Lantas mereka pun naik ke atas motor, duduk berboncengan, dan pergi untuk
meneruskan aktifitas selanjutnya.
Jika dipikir – pikir, yang diterima
Murin dan anaknya tak berarti apapun jika itu disematkan padaku atau orang
–orang yang berpenghasilan di atas UMK
(Upah Minimum Kabupaten/Kota) tiap bulannya. Tapi lain halnya bagi Murin dan anaknya.
Mungkin baginya selembar uang Rp 20.000 bisa untuk dana ekstra memenuhi
kebutuhan hidupnya hari itu. Entah untuk beli lauk pauk, bensin, atau mungkin untuk tambahan tabungan
kebutuhan sekolah Rizky yang akan naik kelas 4 SD. Sedangkan paket alat tulis
yang diterima Rizky secara tak langsung sedikit meringankan beban ayahnya.
Setidaknya Murin bisa berhemat terkait penyediaan peralatan sekolah untuk
anaknya seperti buku tulis, bolpoin, tempat pensil dan penggaris.
Sepertinya mereka berdua tak menyangka akan mendapatkan upah ganda
atas keringat yang telah menetes. Terlebih lagi Rizky. Tak terpikir dalam
benaknya jika upayanya membantu sang ayah memperoleh sebuah ganjaran. Meski
nilainya tak semahal smartphone namun
sepaket alat tulis itu sudah cukup untuk membuat siang harinya bahagia.
Agus Eko Kristanto
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.85, Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar