Inilah ceritaku, tentang betapa memilukannya ketimpangan kondisi
pendidikan masa kini. Suatu kali ada begitu banyak sumbangan yang diberikan
para donatur kepada Yayasan. Berupa perlengkapan sekolah seperti alat tulis,
pensil warna, buku-buku dan alat peraga pendidikan. Bantuan itu dikemas dan
dipack sesuai jenisnya untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah atau
pihak-pihak yang membutuhkan. Tempo hari barang-barang serupa dikirimkan ke
sebuah sekolah di Manggarai dan mereka menerima barang-barang itu dengan penuh
suka cita. Senang sekali rasanya saat melihat senyum anak-anak di sekolah itu
dengan seragam baru, tas baru yang di dalamnya penuh dengan buku dan alat
tulis.
Kali ini, perlengkapan sekolah yang sudah siap kirim ini akan
disumbangkan ke SD Margorukun. Sebuah Sekolah dasar yang berjarak hanya sekitar
2 km dari Tugu Pahlawan. Dengan sebuah mobil kami mengirimkan barang-barang
itu. Selama perjalanan kami mengalami beberapa kendala, selain karena kemacetan,
ternyata letak sekolah itu masuk ke dalam gang sehingga mobil tidak bisa masuk.
Akhirnya dengan bantuan abang becak, bantuan nyampai juga di tujuan meskipun
harus melalui gang sempit diapit tembok pemukiman warga.
“Sekolahnya yang mana?” Tanyaku pada temanku. Aku melihat bangunan
seperti gudang dengan beberapa sekat. Bangunan itulah sekolahnya. Masuk ke
dalam ruang guru dengan sedikit bimbang karena masih bertanya-tanya apa benar
ini ruang kantor sekolahnya. Kamar dengan ukuran 3 X 3, ada dua almari kaca
dengan beberapa buku di dalamnya. Di sudut ruangan ada kipas angin yang tidak
terpakai, mungkin rusak. Tak terlihat adanya perangkat komputer. Di bawah kipas
angin ada kotak minuman air mineral. Di ruangan ini hanya ada satu meja dan
beberapa kursi. Beberapa guru yang menyambut kedatangan kami berdiri di depan
pintu karena tak mungkin masuk semua. Suhu ruangan jadi tambah panas. Sambil
menunggu proses serah terima barang kami gunakan waktu untuk ngobrol meski
dalam suasana agak gelisah karena panasnya ruangan dan kebisingan suara
anak-anak dari dalam kelas.
Badanku ada di ruangan dan ngobrol dengan beberapa guru, tapi
sebenarnya otakku terasa kosong. Tak terbayangkan bahwa di jaman ini, di kota
besar, masih ada sekolah dengan kondisi seperti ini. Prasarana sekolah sangat
minim dan konon para guru yang penuh dedikasi dalam menjalankan tugasnya itu
hanya mendapat honor Rp. 250.000 per bulan. Hahhh… yang benar saja!!
Teringat masa kecil ketika aku menginjakkan kakiku di sekolah
dasar. Saat itu tahun 1981, masih jelas terlihat di ingatanku bangunan sekolah
yang besar, halaman luar yang luas dengan tepi tanaman perdu berbunga
warna-warni. Di perkampungan yang berjarak sekitar 15 km dari gunung Kelud ini
aku menjalani masa kecilku dengan bersekolah di sekolah dasar yang kondisinya
cukup baik. Itu jaman dulu dan di desa terpencil pula.
Tapi yang kulihat saat ini benar-benar tidak masuk akal. Sebuah
sekolah yang berdiri tak jauh dari ikon kota Surabaya kok kondisinya seperti
ini. Ini Surabaya broo… tahun 2017 brooo…. dan masih ada sekolah dengan kondisi
seperti itu. Ya ampunnn…!!!!
Johanes Lasmidi
Dimuat
dalam buletin Fides Et Actio edisi No.85, Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar