Kethut adalah keponakanku. Ia hanya lulus SMP. Sehari-hari ia
kerja di ladang dan membantu orang tua memelihara ternak. Ia terkenal sebagai
anak rajin. Dari kecil ia biasa membantu bapaknya yang berprofesi sebagai
tukang batu sepulang sekolah. Terlihat hasil kerja keras dan ketelatenannya
dalam bekerja dalam bentuk sepeda motor 160 cc yang ia tunggangi sekarang.
Handphone di sakunya pun tergolong kelas mahal. Sepeda motor dan HP canggihnya
melengkapi penampilan dia saat berlebaran seperti saat ini. Penampilan yang
patut mendapat apresiasi karena sepeda motor
dan HP itu ia peroleh karena keuletan dia dalam bekerja sebagai buruh
tani dan kuli batu. Tak seperti kebanyakan pemuda lain yang tampil mentereng
tapi semuanya didapat dari kerja keras orang tuanya.
Bersama dua temannya, Kethut menyempatkan diri untuk silaturahmi
ke orang tuaku. Meski kami sekeluarga adalah orang katolik, tetapi hampir
seluruh anggota keluarga besar datang ke rumah untuk asok kaluputan ( mencurahkan
kesalahan untuk meminta maaf) pada bapak ibuku yang dianggap dituakan dalam
silsilah keluarga. Ini tradisi, jadi tidak lagi ada pertanyaan mengenai siapa
yang sebenarnya merayakan idul fitri dan siapa yang tidak. Setelah bersalaman
dengan kedua orang tuaku, Kethut dan dua temannya duduk-duduk di kursi bambu
yang diletakkan di bawah pohon mangga. Dengan membawa toples berisi kacang
goreng yang diambilnya dari meja ruang tamu terlihat Kethut sedang bercanda dan
seperti sedang eyel-eyelan (berdebat)
dengan kedua temannya. Salah seorang temannya memetik daun kemangi yang tumbuh
liar di halaman dan membandingkannya dengan gambar yang ada di HP Kethut.
Selidik punya selidik, ternyata mereka sedang memperdebatkan
tanaman apakah gerangan yang tumbuh di bawah pohon mangga itu. Yang satu bilang
kemangi sementara yang lain bilang itu adalah kenikir. “Iki lo deloken bedane kenikir karo kemangi!” (Ini lo lihatlah
bedanya kenikir dan kemangi) Kata teman Kethut sambil menunjuk ke arah gambar
yang ada di HP.
Mengetahui hal itu aku langsung menepuk jidat. Apakah ini juga
salah satu perubahan yang terjadi di kampung halamanku? Mereka memilih googling untuk mendapatkan jawaban yang
benar tentang sayuran yang ada di depan mereka. Mengapa mereka tidak memilih
untuk ke belakang rumah yang jaraknya tak lebih dari 10 meter dari tempat
mereka berdebat, untuk membuktikan secara langsung bedanya kemangi dan kenikir?
Tetapi yang membuatku dobel tepuk jidat adalah bahwa anak-anak muda ini
berdebat untuk hal yang harusnya tidak menjadi bahan perdebatan. Di kampung ini
hampir semua pekarangan belakang rumah ditanami sayuran. Kemangi dan kenikir
bukanlah tanaman langka. Bahkan ini menjadi seperti tanaman wajib di setiap
kebun belakan rumah. Anak-anak muda ini pasti tiap hari melihat dan sering
menyantapnya dalam menu makan mereka. Bila hari ini tiga anak muda ini tidak
tahu membedakan mana kemangi dan mana kenikir, lantas selama ini mereka hidup
di dunia yang seperti apa? Mengapa mereka yang biasa berladang ini pun tak
mengenali tanaman hasil kebunnya? Aku bertanya dalam hati apa gerangan yang
salah dengan kampungku, apa yang salah dengan anak muda kampung ini.
Oleh Johanes Lasmidi
Dimuat dalam buletin Fides Et
Actio edisi No. 86, Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar