Selamat datang di blog kami! Selamat menikmati aktivitas yang kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Bila ada pertanyaan seputar aktivitas kami, silakan kirim ke alamat email kami: sekretkasihbangsa@gmail.com. Kunjungi pula situs kami di https://ykbs.or.id - Terima kasih...

Kamis, 05 Maret 2020

Dalam Kesederhanaan, Menemukan Arti Hidup


Siang itu pukul 11.20 WIB, matahari bersinar dengan teriknya. Dari kejauhan becak berwarna biru dan kuning nampak bergerak di Jalan Merdeka Barat, Malang. Dikayuh oleh Pak Mulyadi (62) seorang laki-laki bertubuh kurus dengan hanya memakai celana pendek krem dan baju batik berwarna biru. Pak Mul (demikian ia biasa disapa) mengayuh dari arah Selatan, kemudian merapatkan becaknya di trotoar jalan, di sisi sebelah Barat dari alun-alun Malang.

Dengan agak payah Pak Mul  yang asli kelahiran Sukun, Malang, turun dari sadel becaknya dan beranjak duduk di dalam becaknya untuk beristirahat. Sambil beristirahat Pak Mul mengambil botol minum yang dibawanya dari rumah dan mulai meminumnya.


Awal Mula
Pak Mul telah bekerja sebagai penarik becak selama 17 tahun. Pada awalnya Pak Mul bekerja sebagai pemulung, pernah juga bekerja sebagai hansip. Sampai akhirnya 12 tahun yang lalu Pak Mul menjadi penarik becak di daerah alun-alun kota Malang.

Menurut Pak Mul selama menarik becak di banyak tempat, hanya ketika menarik di daerah sekitar alun-alun inilah ia merasakan perasaan nyaman dan bahagia. Banyak orang yang ingin pergi ke Pasar Besar yang terletak tidak jauh dari alun-alun menggunakan jasa Pak Mul. Terlebih lagi jika hari Jumat dan hari Minggu, banyak orang yang pulang dari beribadah di Masjid dan Gereja yang letaknya tidak jauh dari alun-alun, memakai jasa becak Pak Mul untuk mengantar pulang. 

H. Kholik (51), adalah salah satu pelanggan becak Pak Mul. “Orangnya ramah, sambil naik becaknya kita juga diajak ngobrol”, tuturnya sambil menikmati sebatang rokok.

Sebelum memilih alun-alun sebagai tempat mangkalnya, Pak Mul pernah mencoba untuk mangkal di Pasar Sukun, Comboran, dan di depan RST Soepraoen. Sampai pada ketika ia memilih alun-alun sebagai tempat mangkalnya karena dirasa alun-alun lebih strategis tempatnya dan lebih menguntungkan.

Kakek dari tiga orang cucu ini, yaitu Slamet (24), Heru (21), dan Ayu (16), menjadikan becak sebagai penopang hidup keluarganya.

Perjuangan Hidup
Sekitar pukul 05.30 perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Setelah memastikan apa yang perlu ia  bawa tidak ada yang tertinggal, Pak Mul mulai mengayuh becaknya menuju Pasar Mergan sebelum akhirnya menuju alun-alun, tempat ia biasa mangkal.

Pak Mul berangkat pada pukul 05.30 karena menurutnya sekitar waktu-waktu itulah banyak orang terutama ibu-ibu yang pergi ke pasar untuk belanja sayuran.

“Dulu ketika badan ini masih kuat saya bisa narik sampai malam”, kisah Pak Mul menuturkan kondisi kesehatannya yang sudah tidak kuat lagi seperti dulu.

Beberapa bulan lalu memang Pak Mul kerap tidak menarik becaknya karena beberapa kali sakit. Penyakit tersebut membuatnya kesulitan untuk mengayuh becaknya, sehingga ia disarankan untuk banyak beristirahat dan tidak boleh bekerja sampai malam.

Perjuangan hidup telah menjadikan Pak Mul sosok yang kuat dan tabah menghadapi cobaan. Pak Mul hanya libur ketika badan terserang penyakit. Hal ini semata-mata karena ia takut jika ia tidak menjalankan becaknya, asap dapurnya pun tidak mengepul.

“Dulu ketika belum banyak motor, sehari saya bisa narik sampai lima belas kali”, ungkap Pak Mul

“Tapi sekarang lima kali saja sudah sangat bersyukur”, lanjutnya.
Perjuangan untuk bertahan hidup adalah sesuatu yang benar-benar ia pegang dalam hidupnya. Bagaimana ia harus jujur dan ramah dalam bekerja dan bagaimana ia sedapat mungkin membantu orang lain yang sedang mendapat kesusahan.

Dalam benak Pak Mul, yang terpenting bukan semata-mata dirinya, tetapi adalah istri dan cucu-cucunya di rumah. Bagaimana ia dan keluarga harus dapat tetap bertahan hidup berapapun hasil menarik becak yang ia peroleh. Dapat menyekolahkan cucu-cucunya dan berharap cucu-cucunya menjadi orang yang berhasil adalah cita-citanya.

Berapapun hasil yang ia peroleh, ia tetap mensyukurinya. Karena bekerja adalah bukan semata-mata bagaimana ia mendapatkan uang dari hasil tarikan becaknya, namun juga bagaimana ia dapat bersikap ramah terhadap setiap penumpang yang naik di becaknya.

Semuanya Bersumber dari Tuhan
“Alhamdulilah Mas, meski penghasilan dalam sehari tidak menentu”, kata Pak Mul, “namun kebutuhan keluarga selama ini terpenuhi meski pas-pasan”, lanjutnya.

Dalam hidup Pak Mul yang terpenting bukan pertama-tama hasil yang ia peroleh, tetapi bagaimana ia tetap dapat bersyukur atas apa yang diperolehnya. Bagi Pak Mul semua yang diperolehnya adalah pemberian dari Tuhan, maka tidak patut jika dirinya ngresulo atas apa yang diterimanya.

Kehidupannya yang pas-pasan bukanlah menjadi alasan untuk membuatnya menyalahkan Tuhan. Melainkan keadaannya yang demikian itu menjadi sarana bagi Pak Mul untuk dapat dekat dengan Tuhan. Tuhan tidak dianggap jauh dari hidup keseharian, melainkan Tuhan itu dekat dengan hidupnya.

Tuhan itu selalu memberi apa yang dibutuhkan umatnya. Prinsip inilah yang dipegang Pak Mul dalam hidupnya, karena itulah ia dapat selalu tersenyum dan bersikap ramah pada setiap penumpangnya. Baginya Tuhan telah memberi cinta-Nya maka ia juga wajib membagikan cinta itu pada orang lain.

“Setiap orang itu punya masalahnya sendiri-sendiri”, kata Pak Mul, “tapi bagaimana ia melihatnya sebagai bagian dari tresnane Gusti itu yang sulit”, lanjutnya.

Tidak ada manusia yang tidak pernah mendapat masalah atau mengalami penderitaan dalam hidupnya. Tetapi bagaimana melihat semua itu sebagai cinta Tuhan, tidak semua manusia bisa melihatnya. Yang dilihat dalam masalah dan penderitaan sering hanya rasa sakitnya dan bukan apa yang ada dibalik rasa sakit itu. Bagi Pak Mul hidup yang pas-pasan bukan suatu halangan untuk bahagia, tetapi dalam kesederhanaan itulah ia menemukan arti hidup.

“Saya kadang juga merasa sedih melihat hidup saya yang pas-pasan ini Mas, namun semua itu Gusti sing maringi (Tuhan yang memberi). Jadi saya enggan untuk mengeluh. Saya teringat orang lain yang masalahnya lebih berat dari saya”, pungkasnya sambil tersenyum.

Oleh : Rm. Novan Agestyo CM
Dimuat dalam Buletin Fides Et Actio edisi no. 103, Januari 2019
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar