Siang itu
pukul 11.20 WIB, matahari bersinar dengan teriknya.
Dari kejauhan becak berwarna biru dan kuning nampak bergerak di Jalan Merdeka
Barat, Malang. Dikayuh oleh Pak Mulyadi (62) seorang laki-laki bertubuh kurus
dengan hanya memakai celana pendek krem dan baju batik berwarna biru. Pak Mul
(demikian ia biasa disapa) mengayuh dari arah Selatan, kemudian merapatkan becaknya di trotoar jalan, di sisi sebelah Barat dari alun-alun Malang.
Dengan
agak payah Pak Mul yang asli kelahiran
Sukun, Malang, turun dari sadel becaknya dan beranjak duduk di dalam becaknya
untuk beristirahat. Sambil beristirahat Pak Mul mengambil botol minum yang
dibawanya dari rumah dan mulai meminumnya.
Awal Mula
Pak Mul
telah bekerja sebagai penarik becak selama 17 tahun. Pada awalnya Pak Mul bekerja sebagai
pemulung, pernah juga bekerja sebagai hansip. Sampai akhirnya 12 tahun yang lalu Pak Mul menjadi penarik
becak di daerah alun-alun kota Malang.
Menurut
Pak Mul selama menarik becak di banyak tempat, hanya ketika menarik di daerah
sekitar alun-alun inilah ia merasakan perasaan nyaman dan bahagia. Banyak orang
yang ingin pergi ke Pasar Besar yang terletak tidak jauh dari alun-alun
menggunakan jasa Pak Mul. Terlebih lagi jika hari Jumat dan hari Minggu, banyak orang yang pulang dari
beribadah di Masjid dan Gereja yang letaknya tidak jauh dari alun-alun, memakai
jasa becak Pak Mul untuk mengantar pulang.
H. Kholik
(51), adalah salah satu pelanggan becak Pak Mul. “Orangnya ramah, sambil naik
becaknya kita juga diajak ngobrol”, tuturnya sambil menikmati sebatang rokok.
Sebelum
memilih alun-alun sebagai tempat mangkalnya, Pak Mul pernah mencoba untuk
mangkal di Pasar Sukun, Comboran, dan di depan RST Soepraoen. Sampai pada
ketika ia memilih alun-alun sebagai tempat mangkalnya karena dirasa alun-alun
lebih strategis tempatnya dan lebih menguntungkan.
Kakek
dari tiga orang cucu ini, yaitu Slamet (24), Heru (21), dan Ayu (16),
menjadikan becak sebagai penopang hidup keluarganya.
Perjuangan Hidup
Sekitar
pukul 05.30 perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Setelah memastikan apa yang
perlu ia bawa tidak ada yang tertinggal,
Pak Mul mulai mengayuh becaknya menuju Pasar Mergan sebelum akhirnya menuju
alun-alun, tempat ia biasa mangkal.
Pak Mul berangkat
pada pukul 05.30 karena menurutnya sekitar waktu-waktu itulah banyak orang
terutama ibu-ibu yang pergi ke pasar untuk belanja sayuran.
“Dulu
ketika badan ini masih kuat saya bisa narik sampai malam”, kisah Pak Mul
menuturkan kondisi kesehatannya yang sudah tidak kuat lagi seperti dulu.
Beberapa
bulan lalu memang Pak Mul kerap tidak menarik becaknya karena beberapa kali sakit. Penyakit tersebut membuatnya
kesulitan untuk mengayuh becaknya, sehingga ia disarankan untuk banyak
beristirahat dan tidak boleh bekerja sampai malam.
Perjuangan
hidup telah menjadikan Pak Mul sosok yang kuat dan tabah menghadapi cobaan. Pak
Mul hanya libur ketika badan terserang penyakit. Hal ini semata-mata karena ia
takut jika ia tidak menjalankan becaknya, asap dapurnya pun tidak mengepul.
“Dulu
ketika belum banyak motor, sehari saya bisa narik sampai lima belas kali”,
ungkap Pak Mul
“Tapi
sekarang lima kali saja sudah sangat bersyukur”, lanjutnya.
Perjuangan
untuk bertahan hidup adalah sesuatu yang benar-benar ia pegang dalam hidupnya.
Bagaimana ia harus jujur dan ramah dalam bekerja dan bagaimana ia sedapat
mungkin membantu orang lain yang sedang mendapat kesusahan.
Dalam
benak Pak Mul, yang terpenting bukan semata-mata dirinya, tetapi adalah istri
dan cucu-cucunya di rumah. Bagaimana ia dan keluarga harus dapat tetap bertahan
hidup berapapun hasil menarik becak yang ia peroleh. Dapat menyekolahkan
cucu-cucunya dan berharap cucu-cucunya menjadi orang yang berhasil adalah
cita-citanya.
Berapapun
hasil yang ia peroleh, ia tetap mensyukurinya. Karena bekerja adalah bukan
semata-mata bagaimana ia mendapatkan uang dari hasil tarikan becaknya, namun
juga bagaimana ia dapat bersikap ramah terhadap setiap penumpang yang naik di
becaknya.
Semuanya Bersumber dari Tuhan
“Alhamdulilah
Mas, meski penghasilan dalam sehari tidak menentu”, kata Pak Mul, “namun
kebutuhan keluarga selama ini terpenuhi meski pas-pasan”, lanjutnya.
Dalam
hidup Pak Mul yang terpenting bukan pertama-tama hasil yang ia peroleh, tetapi
bagaimana ia tetap dapat bersyukur atas apa yang diperolehnya. Bagi Pak Mul
semua yang diperolehnya adalah pemberian dari Tuhan, maka tidak patut jika
dirinya ngresulo atas apa yang
diterimanya.
Kehidupannya
yang pas-pasan bukanlah menjadi alasan untuk membuatnya menyalahkan Tuhan.
Melainkan keadaannya yang demikian itu menjadi sarana bagi Pak Mul untuk dapat
dekat dengan Tuhan. Tuhan tidak dianggap jauh dari hidup keseharian, melainkan
Tuhan itu dekat dengan hidupnya.
Tuhan itu
selalu memberi apa yang dibutuhkan umatnya. Prinsip inilah yang dipegang Pak
Mul dalam hidupnya, karena itulah ia dapat selalu tersenyum dan bersikap ramah
pada setiap penumpangnya. Baginya Tuhan telah memberi cinta-Nya maka ia juga
wajib membagikan cinta itu pada orang lain.
“Setiap
orang itu punya masalahnya sendiri-sendiri”, kata Pak Mul, “tapi bagaimana ia
melihatnya sebagai bagian dari tresnane
Gusti itu yang sulit”, lanjutnya.
Tidak ada
manusia yang tidak pernah mendapat masalah atau mengalami penderitaan dalam
hidupnya. Tetapi bagaimana melihat semua itu sebagai cinta Tuhan, tidak semua
manusia bisa melihatnya. Yang dilihat dalam masalah dan penderitaan sering
hanya rasa sakitnya dan bukan apa yang ada dibalik rasa sakit itu. Bagi Pak Mul
hidup yang pas-pasan bukan suatu halangan untuk bahagia,
tetapi dalam kesederhanaan itulah ia menemukan arti hidup.
“Saya
kadang juga merasa sedih melihat hidup saya yang pas-pasan ini Mas, namun semua
itu Gusti sing maringi (Tuhan yang
memberi). Jadi saya enggan untuk mengeluh. Saya teringat orang lain yang
masalahnya lebih berat dari saya”, pungkasnya sambil tersenyum.
Oleh : Rm. Novan Agestyo CM
Dimuat dalam Buletin Fides Et Actio edisi no. 103,
Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar