Hari masih pagi. Tampak
beberapa pedagang kecil membawa kursi dan meja bergegas menuju pasar sirih
pinang di pinggir jalan. Dari jauh serombongan massa bergerak menuju jalan,
berteriak memecah kesunyian pagi yang indah. Mereka bergerak begitu cepat, lalu
menghilang di pertigaan jalan. Hanya suara teriakan saja yang terdengar.
Beberapa saat kemudian, massa semakin banyak meluap ke jalan. Saya
bergegas mengambil kamera dan tas kecil saya menuju jalan. Massa bergerak di
jalan, tampak di baris paling depan adalah beberapa wajah yang saya
kenal, mereka terus berteriak dan berkata “tidak ada makanan di pulau
ini, bagaimana kami bisa hidup”. Saya memilih pergi ke pinggir jalan berdiri
bersama dengan Emanual, salah satu umat yang menjual makananya di pingir jalan.
Perlahan-lahan mereka bergerak ke arah kami. Tatkala itu seorang
pejabat keluar dari Hotel berpakain rapih, mencoba menghentikan mereka. Namun
mereka bergerak menuju dia dan berteriak agar pemerintah secepatnya
mendatangkan bahan makanan. Salah satu diantara mereka berkata bahwa “mengapa
pemerintah hanya duduk diam saja, lakukan sesuatu untuk kami. Jangan hanya menginap
di hotel saja sedangkan kami masyarakat miskin tetap menderita. Lihatlah
anak-anak kami, sudah tidak dapat ke sekolah lagi.
Mereka lapar sekarang, dan
tidak ada makanan lagi di pulau ini”. Kata seorang bapak kepada pejabat itu.
Saya ingin mengambil kamera dari dalam tas kecil saya untuk mengambil foto,
tetapi saya mengurungkan niat saya, karena melihat massa begitu banyak dan
tampak sangat marah di wajah mereka. Beberapa umat yang mengetahui saya
diantara massa itu menghampiri saya dan bercerita tentang situasi yang dihadapi
oleh keluarganya sekarang. Di tengah kerumunan massa itu, pejabat pemerintah
itu menjelaskan kepada mereka bahwa dia sedang mengusahakan untuk mencarter
pesawat atau kapal laut untuk datang ke pulau Daru. Setelah itu dia masuk ke dalam
mobil mewahnya dan pergi menuju kantornya. Massa merasa tidak puas,
mereka segera berangkat ke kantor pemerintah daerah. Tampak banyak
orang di tengah jalan juga ikut-ikutan bergabung dan bergerak.
Beberapa ibu dengan anak-anak sudah masuk lebih dahulu dan duduk di
halaman gedung sambil menunggu jawaban kepastian dari pemerintah.
Dua jam kemudian, massa membubarkan diri mereka, satu persatu meninggalkan
gedung pejabat pemerintah itu dan pergi dengan wajah yang tidak puas. Rupanya
mereka tidak begitu puas dengan jawaban yang diberikan oleh pejabat pemerintah
itu. Mereka berteriak-teriak lagi dan pergi menuju toko untuk
mencari biskuit. Namun semua toko dan beberapa instansi pemerintah, dan sekolah
sudah tutup.
Saya dapat memahami kekecewaan
masyarakat kecil di Pulau Daru terhadap pemerintah yang kurang peka terhadap
kebutuhan masyarakat miskin. Sudah seminggu lebih, persediaan bahan
makanan yakni beras, dan tepung terigu sudah tidak ada lagi di toko.
Biasanya setiap dua minggu sekali kapal laut membawa makanan dari
Port Moresby menuju pulau Daru. Akan tetapi saat itu kapal laut sedang
digunakan oleh perusahan minyak untuk membawa bahan makanan mereka ke
tempat lain. Pada saat yang bersamaan, terjadi bencana banjir di beberapa kampung
yang menyebabkan semua kebun dan rumah mereka digenangi air. Orang-orang di
kampung-kampung tersebut biasanya membawa makanan lokal seperti pisang, taro,
sagu, ubi dan berbagai jenis sayuran ke pulau Daru. Sejak terjadinya bencana,
tidak ada lagi makanan lokal di pasar, kalaupun ada, harganya menjadi empat
kali lipat dari harga yang biasanya. Bagi penduduk lokal yang tinggal di pulau
Daru yang tidak mempunyai kebun, menjadi kesulitan dan bencana tersendiri bagi
mereka. Kebanyakan anak-anak ke sekolah tidak makan, hanya minum air saja.
Karena persoalan ini, semua sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA untuk
sementara ditutup. Mereka semua diliburkan sampai ada persediaan bahan makanan
di kota.
Pulau Daru adalah sebuah Pulau
kecil di Provinsi Barat, Papua New Guinea. Pulau ini sebelumnya adalah ibu kota
provinsi dari Provinsi Barat. Namun, karena letaknya di selatan, dan sulit
menjangkau ke daerah utara, akhirnya ibu kota provinsinya di pindahkan ke
Kiunga. Pulau Daru letaknya di pantai selatan berdekatan dengan perbatasan
Merauke, Indonesia dan Australia. Suku penduduk yang tinggal disini adalah suku
Kiwai, dan suku Bamo. Suku Kiwai sebagian adalah para pendatang dari pulau
Kiwai. Mereka meninggalkan pulau Kiwai dan menempati pulau Daru, karena tidak
tersedianya sekolah dan rumah sakit. Mereka tinggalnya di daerah-daerah
pingiran dengan bentuk rumah seperti perkampungan kumuh dan saling
berdekatan satu sama lain. Mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sebagian
dari mereka adalah nelayan. Hidup mereka tergantung pada hasil
penangkapan ikan. Mereka tidak mempunyai lahan tanah untuk menanam
berbagai jenis makanan lokal dan sayuran. Sehingga dapat dimengerti
takkala tidak ada makanan selama 12 hari adalah bencana bagi
penduduk pulau Daru.
Seorang ibu tua dengan dua orang
anaknya menghampiri saya dan berkata “father “kami sangat lapar,
kami tidak mempunyai makanan lagi di rumah”. Saya tidak tahu harus berkata apa
kepada mereka, karena saya juga setiap hari mencari makanan di pasar dan di
toko. Saat itu, saya juga tidak mempunyai persediaan beras dan makanan lain di
rumah, setelah sebulan mengikuti pertemuan di Kiunga. Yang paling rentang
kelaparan adalah anak-anak kecil. Beberapa kali saya melihat banyak anak
yang sakit di rumah sakit, belum terhitung yang sakit dan tinggal di rumah
mereka masing-masing, karena kekurangan makanan.
Akan tetapi satu hal yang
mengherankan bagi saya, adalah jumlah umat yang datang menghadiri perayaan misa
harian setiap hari kian bertambah. Pada hal saya tahu mereka tidak mempunyai
makanan di rumah, dan pasti perut kosong tatkala datang menghadiri perayaan
ekaristi. Ibu Kristina berkata kepadaku bahwa “sudah saatnya kita tidak hanya
mencari makanan yang bersifat jasmani, tetapi makanan yang bersifat rohani.
Allah sedang berbicara kepada kita saat dan kondisi seperti ini”. Kata dia
dengan tidak ada senyum di wajahnya. Saya tidak mengetahui apa maksudnya.
Karena saat-saat itu, saya tidak tahu apa kata-kata penghiburan yang paling
tepat. Saya memilih diam dan tidak menanggapinya, karena yang saya tahu di
rumah-rumah penduduk tidak ada makanan lagi. Mereka hanya bertahan dengan
biskuit kraker saja.
Setiap hari saat misa harian,
saya melihat wajah-wajah umat yang pucat menapaki tangga gereja masuk ke dalam
gereja, mengambil air berkat dan membuat tanda salib. Setelah itu mereka
mencari tempat duduk dan mulai berdoa. Wajah-wajah mereka sangat khusuk
ketika mereka sedang berdoa, namun baris wajah-wajah pucat sangat jelas
terlihat. Saya mulai berpikir, kira-kira renungan apa yang dapat
saya berikan kepada mereka. Saya ingat, patung St. Vinsensius A Paulo
yang sedang berkotbah, di tangan kanannya memegang kitab suci, sedangkan
tangan kirinya memegang roti. Artinya, berilah makanan jasmani dahulu
kepada orang miskin agar mereka dapat mendengarkan Sabda Tuhan dengan
baik. Namun, apa yang dapat saya berikan saat ini? Saya juga tidak mempunyai
makanan di rumah. Yang dapat saya berikan dan bagikan hanya memegang
Sabda Allah dan Tubuh tubuh yang dapat menguatkan iman mereka agar mereka
tetap kuat. Tapi bagaimana mereka kuat, kalau mereka lapar? Saya tidak tahu
harus bagaimana saat itu.
Pada hari yang kesepuluh, dua
pesawat charter datang membawa beras. Namun dalam hitungan dua jam, beras dan
tepung terigu sudah tidak ada lagi di toko-toko. Seorang umat datang ke rumah
mengatakan kepadaku, makanan sudah tidak ada lagi di toko. Setiap pembeli
diinjinkan hanya mengambil dua kilo beras saja, dan sekarang sudah habis
persediaannya. Ia berkata lagi bahwa besok pesawat akan datang lagi
membawa bahan makanan. Ketika malam tiba, saya merenungkan kitab suci, saya
berpikir apa kira-kira kotbah yang dapat saya berikan bagi umat yang
sedang dalam situasi seperti saat ini? Saya menemukan kata-kata
penghiburan yakni Tuhan bersama kita. Mungkin ini tema yang tepat untuk
kami saat itu. Saat perayaan hari minggu, saya melihat banyak umat datang ke
gereja. Mereka menyanyi dan memuji Allah. Saya tidak dapat membayangkan bahwa
mereka yang datang itu ada diantara mereka yang tidak makan, atau kekurangan
gisi karena tidak ada makanan di Pulau Daru. Namun, mereka tetap datang
menghadiri perayaan ekaristi. Selesai perayaan ekaristi, seorang umat
berkata kepadaku, bahwa dalam situasi seperti yang kita hadapi sekarang ini,
Tuhan itu selalu bersama kita. Saya yakin mereka mengamini kata-kata ini,
karena mereka mengalami betapa hidup di Pulau Daru adalah hidup yang serba
sulit, namun dalam kesulitan itu mereka masih melihat bahwa Tuhan selalu hadir
bersama mereka.
Setelah umat bergegas
meninggalkan gereja, saya pergi ke toko untuk membeli beras. Di gerbang
toko ada sekian banyak orang yang berusaha masuk ke dalamnya. Di sudut jalan
begitu banyak orang yang bergegas kearah toko yang sama bukan untuk protes tapi
tujuan kami sama yakni membeli beras dan tepung terigu. Saya membeli 10 kilo
beras untuk persediaan di rumah. Saya tidak membeli lebih dari itu, karena
berpikir bahwa masih banyak orang yang lebih memerlukan dari saya. Tatkala saya
keluar dari toko, saya melihat wajah-wajah orang yang protes empat hari
sebelumnya di sudut jalan. Sambil melambaikan tangan mereka berkata ‘yawo
father. Sayapun melambaikan tangan saya sambil memikul beras sepuluh kilo
dengan senyuman dan segera menghilang di sudut jalan menuju rumah tempat saya
tinggal.
Oleh : Rm. Mans Werang CM
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi bulan Juli No.25 tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar