Aku duduk di
sebuah balok sebesar pelukan orang dewasa yang melintang dekat bibir sungai.
Sinar matahari sore tertutup mendung yang menggantung sejak siang. Angin yang
kuat berhembus di sepanjang sungai Melawi yang berwarna coklat susu. Entah
barapa ratus kubik sampah dari hutan, kebun dan manusia yang terendam di
dalamnya. Sesekali tampak balok-balok besar hanyut terbawa arus sungai. Pada
saat awal musim hujan seperti ini banyak balok, potongan-potongan kayu, ranting
dan sampah dari hutan memenuhi sungai Melawi, sehingga sungai menjadi keruh.
Kekeruhan sungai diperparah dengan semakin banyaknya hutan yang gundul sehingga
terjadi erosi dan banyaknya penambang emas dalam sungai yang mengaduk-aduk
dasar sungai, sehingga air sungai penuh pasir. Tetapi meski keruh air sungai
tetap digunakan oleh ribuan penduduk sepanjang tepi sungai untuk mandi, mencuci
dan minum. Apalagi saat ini semakin banyak anak sungai yang jernih airnya
hilang akibat ditimbun untuk kepentingan perkebunan atau menjadi sama keruhnya
akibat penambangan emas yang berada di darat.
Suara Bon
Jovi yang keluar dari earphone menghentak-hentak telingaku. Perhatianku
terpusat pada novel lama yang kutemukan dalam perpustakaan. Novel berlatar
belakang perang dunia II, tentang usaha Liam Devlin untuk menyelamatkan Kurt
Steiner. Novel ini merupakan kelanjutan dari novel yang pernah kubaca semasa
masih SMA dulu, dimana Kurt Steiner mendapat perintah dari Himler untuk
membunuh Churchil di tempat peristirahatannya. Tetapi usaha ini gagal. Jack
Higgings, penulis novel itu menceritakan intrik Himler yang ingin membunuh
Hitler, Jendral Rommel dan Admiral Canaris tetapi usaha ini digagalkan oleh
Walter Schellenberg. Aku sangat tertarik dengan novel dan film perang. Maka
meski novel yang pertama berjudul The
Eagle Has Landed, sudah kubaca berpuluh tahun lalu tetapi masih ada
sisa-sisa cerita yang kuingat, sehingga tidak terlalu sulit bagiku untuk
memahami novel The Eagle has Flown
yang kubaca saat ini.
Hidungku
tiba-tiba mencium bau arak. Kutoleh di belakangku duduk seorang bapa sambil
menggendong seorang anak perempuan. Kulepaskan earphone dari telingaku dan
kututup novel yang sudah hampir selesai. Bapak itu tersenyum padaku menampakkan
giginya yang hitam dan merah akibat terlalu banyak makan sirih. Kami pun berbicara
soal alam, hujan, panen, dan jalanan becek. Akhirnya bapak itu bercerita soal
cucu yang digendongnya dan kehidupan anak-anaknya. Bapak itu mengatakan usianya
43 tahun, tetapi aku tidak yakin, sebab disini banyak orang tidak ingat kapan
dia dilahirkan. Bahkan dia lupa kapan dia menikah dan kapan anaknya lahir. Maka
tidak jarang data kelahiran berbeda antara surat baptis, kartu keluarga dan
KTP. Bahkan nama pun dapat berbeda-beda. Aku juga sulit menebak usia seseorang
dari raut wajahnya, sebab banyak orang yang bagiku tampak lebih tua daripada
usia sebenarnya.
Setelah
mengobrol sesaat bapak itu pergi meninggalkan aku sendirian lagi. Aku menatap
bapak itu. Timbul kegelisahan dalam diriku. Betapa bedanya aku dengan dia. Aku
masih menikmati Bon Jovi, membaca novel, memanfaatkan tehnologi komunikasi dan
menonton film. Sedang dia hanya tenggelam dalam memomong cucu, sesekali menoreh
karet atau ke hutan cari buah atau sayur dan duduk-duduk sambil minum arak dan
makan sirih. Dia tidak mendengarkan musik rock, tidak membaca novel, dan tidak
pernah tahu tehnologi komunikasi. Maka dia mengerutkan kening saat melihatku
menunjukkan novel yang kubaca dan musik yang kudengar.
Usia bapak
itu jauh lebih muda dibandingkan aku. Apakah aku tidak tahu diri, sehingga
sudah tua masih suka mendengarkan musik rock dan membaca novel perang atau
membuka FB dan berkomunikasi lewat media sosial? Jika aku menikah apakah aku
juga akan seperti bapak itu yang sibuk dengan cucu dan hanya berbicara seputar
kehidupan tanpa tahu banyak hal diluar kehidupan sehari-hari? Jangankan bicara
soal Himler atau Romel sedangkan Hitler saja tidak diketahuinya. Apakah ada
yang salah dengan diriku? Apakah aku mengalami kemandegkan kepribadian sehingga
meski sudah semakin tua tetapi tetap saja bergaya seperti anak muda dan
mengikuti gaya anak muda yang tenggalam dalam media sosial dan mendengarkan
musik rock? Haruskah aku mengubah gayaku dengan meninggalkan semua kulakukan
saat ini? Mampukah aku meninggalkan novel dan musik? Pikiranku berputar-putar
seperti pusaran air yang tidak jauh berada di bawah kakiku.
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi
no.68, Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar