Dulu aku pernah selama beberapa tahun menjadi
seorang vegetarian. Semula aku bukan seorang vegetarian. Saat berkumpul dengan
anak-anak jalanan dan kaum miskin aku sering merasa prihatin. Mereka sering
berebut sisa-sisa daging ayam yang masih menempel di tulang yang mereka ambil
dari sampah sebuah mall. Istilah kami hoyen. Pernah juga melihat bagaimana
seorang anak memegang satu tusuk sate dengan nasi satu piring. Dia hanya
menjilat bumbu sate dan menggigit kecil dagingnya setiap kali menyuap nasi,
sehingga satu tusuk sate itu cukup untuk lauk makan nasi satu piring.
Pengalaman-pengalaman itu membuatku memutuskan untuk menjadi seorang
vegetarian. Aku tidak makan daging, ikan, telor dan minum susu seperti banyak
anak miskin yang sering kutemui.
Menjadi vegetarian bukan karena mengikuti ajaran
agama yang kuanut, sebab dalam agama Katolik orang boleh saja makan daging. Ini
sebuah keputusan pribadi sebab ingin solider dengan banyak anak miskin yang ada
bersamaku. Sebagai seorang vegetarian di tengah masyarakat yang bukan
vegetarian bukanlah hal yang mudah. Jika pergi kemana-mana aku sering membawa
bekal bawang merah dan bawang putih goreng serta kecap untuk lauk kalau makan.
Pernah aku diundang pesta perkawinan di sebuah tempat yang mewah. Makanan
berlimpah dan mewah. Orang yang menikah tahu kalau aku vegetarian, maka saat
makan dia memberi tiga rantang kecil berisi sambel terong, tahu dan tempe. Aku
jadi mahluk aneh di tengah pesta yang mewah.
Pernah juga di suatu pesta sebuah paroki ada
makan bersama. Pastor paroki mengundang para pedagang yang ada di sekitar
pastoran. Salah satu pedagang yang diundang adalah pedagang tahu campur, salah
satu makanan favoritku. Bau kuah tahu campur menusuk hidung. Beberapa orang
menawariku tahu campur yang sudah ada dalam piring. Aku menjadi bimbang. Apakah
aku akan konsisten untuk vegetarian atau memakan tahu campur. Bagiku tidak ada
orang yang akan protes seandainya aku makan tahu campur itu. Aku pun tidak
melanggar dogma atau ajaran agama Katolik. Orang yang menawariku tahu campur
pun tidak bersalah, sebab dia ingin berbuat baik padaku. Maka menerima piring
berisi tahu campur bukanlah masalah. Aku bergulat dalam diriku. Aku tidak bisa
melarang pastor paroki mengundang pedagang tahu campur. Aku tidak boleh
melarang orang makan tahu campur. Apalagi melarang orang berjualan tahu campur.
Semua kembali padaku. Apakah aku akan setia pada tujuanku atau tidak.
Setiap keputusan dalam hidup harus berdasarkan
pemahaman akan tujuan dari keputusan itu. Jika sebuah keputusan hanya sekedar
mengikuti hukum atau aturan, maka kita akan cenderung menjadi orang munafik.
Mamakai helm saat mengendarai motor adalah sebuah keputusan dimana kita tahu
bahwa helm berguna untuk melindungi kepala bila terjadi benturan. Jika kita tidak
tahu tujuannya, maka kita hanya mematuhi aturan belaka. Memakai helm jika ada
polisi saja atau berusaha mencuri-curi tidak memakai helm. Kita akan mudah
protes bila melihat ada orang yang tidak memakai helm. Hal ini disebabkan
karena kita terpaksa memakai helm. Di dalam diri kita sebetulnya tidak ingin
memakai helm.
Sebagai imam Katolik maka hidup selibat, tidak
menikah. Jika hidup selibat hanya berdasarkan hukum atau aturan tanpa memahami
tujuannya, maka orang akan protes mengapa pendeta boleh menikah. Orang akan
mudah melarang perempuan cantik yang tampil modis, dengan alasan akan menggoda
iman. Bahkan mungkin melarang perempuan cantik berada di dekatnya atau terlibat
aktif dalam pelayanan, sebab keputusan selibat dilakukan dengan terpaksa. Bukan
dengan kehendak bebasnya.
Maka selain memahami tujuan keputusan juga perlu
kebebasan dalam mengambil keputusan itu, sehingga keputusan itu tidak menjadi
beban hidup. Yesus beberapa kali mengkritik orang Farisi, sebab orang Farisi
bertindak hanya berdasarkan hukum. Tidak meyakini tujuan dan tidak berdasarkan
kehendak bebas, sehingga dia sering berlaku munafik. Dia melakukan tata aturan
agama sebab dia terpaksa mentaati hukum agamanya. Yesus memberi perumpamaan
yang bagus tentang kaum Farisi yaitu seperti kuburan. Di luar tampak indah dan
dilabur putih dan teratur rapi tetapi di dalamnya penuh ngengat dengan
kebusukan.
Dalam masa prapaskah ini kita diajak Gereja
untuk melakukan pantang dan puasa. Dalam menjalankan pantang dan puasa harus
tahu tujuannya dan berdasarkan sebuah pilihan bebas. Jika tidak maka kita tidak
bedanya dengan kaum Farisi. Kita akan mudah mengkritik orang yang tidak
berpuasa atau menjalankan puasa hanya sebagai sebuah prestise agar dianggap
suci atau seolah-olah sudah menjalankan ajaran agama.
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.69, Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar