Kala kami sedang asyik
berlatih menyanyi bersama anak-anak di basis Bendul, datang ibunya Rahmat.
Ibunya Rahmat meminta waktu untuk mengobrol sebentar.
“Mas Heru, di Sanggar
masih ada belajar pagi hari?”, tanya ibunya Rahmat.
“Kenapa, Bu? Rencananya
kami mau aktifkan kembali”, jawabku.
“Ini, Mas, Rahmat dan Rini
pengin belajar di Sanggar saja. Kalau Ardi masih belum tahu mau ikut belajar di
mana”, jawab ibunya Rahmat.
“Loh, apa Rahmat dan Rini
sudah tidak sekolah lagi?”, tanyaku dengan wajah kaget.
“Mereka sudah keluar, Mas.
Sekarang yang kelas enam sudah tidak ada muridnya di sekolah”, terang ibunya
Rahmat.
“Wah, kok kelas enam malah
berhenti sekolah. Ada apa sebenarnya?”, cecarku.
“Dhowo ceritane, Mas.
Piye nek kene nang omahku sak iki, Mas?. Ngko ta ceritani kabeh kejadiane”,
ajak ibunya Rahmat.
“Ya udah, Bu. Ayo, kita ke
rumah ibu”, jawabku.
Bersama
dengan Hendrik dan ibunya Rahmat, aku langkahkan kakiku meninggalkan anak-anak
yang sedang latihan menyanyi untuk mencari jawaban di balik berita mengejutkan
yang aku dengar malam itu. Sesampainya kami di dekat rumah ibunya Rahmat,
kami melihat di rumah Rini sedang berkumpul Rini, adik-adiknya, dan ibunya.
Ibunya Rahmat langsung mengajak kami untuk mengobrol di rumahnya Rini saja.
“Oh, Mas Heru dan Mas
Hendrik. Ayo, masuk, Mas. Ini kami lagi nonton TV”, ajak Rini sambil
menyingkirkan beberapa barang yang sedang dipakai untuk mengiris sayur.
“Monggo, Mas Heru,
Mas Hendrik. Lenggah, sik, ta gawekne kopi”, sahut ibunya Rini sambil
berjalan masuk.
Sambil
menunggu ibunya Rini membuatkan kopi, kami mengobrol dan bermain-main dengan
adik-adiknya Rini lebih dulu. Tak berapa lama kemudian aroma wanginya kopi
mulai tercium dan ibunya Rini keluar membawa tiga gelas kopi.
“Mari, Mas, diminum
kopinya”, kata ibunya Rini.
“Iya, Bu. Ma kasih”,
jawabku.
Sambil
menunggu kopi kami agak hangat, aku berpaling ke ibunya Rahmat dan memintanya
untuk melanjutkan cerita yang terputus tadi. Ibunya Rahmat menyeruput
sedikit kopi panas yang dihidangkan kemudian melanjutkan ceritanya.
“Gini loh, Mas Heru. Di
sekolah anak-anak bulan ini, ada kejadian berhubungan dengan uang yang harus
dibayar ke sekolah. Ada anak yang tidak bisa bayar uang untuk rekreasi setelah
selesai kelas enam, trus anak itu mundur dari sekolah. Ada yang sampai dua kali
bayar uang sekolah karena pembayaran yang pertama tidak diakui sama
sekolahnya”, cerita ibunya Rahmat.
“Betul, Mas. Rini ini juga
ngalami. Kemarin dia ga masuk satu bulan trus pas masuk langsung disuruh bayar
Rp. 400.000 hari itu juga”, lanjut ibunya Rini.
“Aku jawab nek ga duwe duit, Mas. Jare gurunya aku ga boleh sekolah lagi
kalau ga bisa bayar sekarang. Ya udah, aku langsung pulang ga mau masuk sekolah
lagi”, sahut Rini.
“Lah, kalau Rahmat bagaimana
ceritanya?”, tanya Hendrik.
“Nek aku ga sekolah lagi soale wis ga ada teman-teman yang sekolah di
kelas enam”, jawab Rahmat yang tiba-tiba muncul di muka pintu sambil
membawa bungkusan gorengan.
Sambil membuka bungkusan
gorengan dan menaruh di depan kami, ibunya Rahmat melanjutkan perkataan Rahmat.
“Kami sebagai orang tuanya
anak-anak pasti akan usahakan uang untuk biaya anak sekolah. Kami heran dulu
tidak ada tarikan malah kalau anak tidak masuk pasti dijenguk sama gurunya.
Sekarang beda sekali. Ga ada pemberitahuan dan penjelasan dari sekolah tentang
biaya sekolah anak tapi kami langsung disuruh bayar”, cerita ibunya Rahmat.
“Iya, Mas, masio kudu
utang ta lakoni kalau untuk bayar sekolah anak. Tapi, kalau langsung
disuruh Unas hari itu juga ya sulit. Uang hasil jualan rujak keliling saja cuma
cukup untuk makan dan jajan anak-anak sehari-hari”, cerita ibunya Rini.
“Lah, ini loh edaran dari
pihak sekolah waktu Rini disuruh bayar Rp. 400.000”, lanjutnya sambil
menunjukkan padaku secarik kertas ukuran 1/4nya A4 yang di dalamnya ditulis
rincian tentang pembayaran sekolah menggunakan tulisan tangan dengan dibubuhi
stempel dan tanda tangan pihak sekolah.
Sambil
memandangi secarik edaran dari pihak sekolah yang ditunjukkan oleh ibunya Rini
aku sendiri pun tidak tahu pasti bagaimana nasib anak-anak seperti Rini dan
Rahmat dan anak-anak lainnya yang karena kondisi ekonomi dan status
kependudukan orang tuanya tidak bisa mengakses pendidikan dengan gratis. Aku
semakin bertanya dalam hati tentang kewajiban Negara untuk memberikan akses
pendidikan pada warganya. Aku teringat pada Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945
ayat (1) yang berbunyi setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pasal
tersebut bermakna bahwa negara berkewajiban memenuhi hak atas pendidikan bagi
setiap warga negaranya tanpa terkecuali tanpa membedakan suku, ras, agama, atau
bahkan keadaan sosial dan ekonominya.
Aku menghela nafas panjang
dan menoleh ke ibunya Rahmat untuk melanjutkan percakapan.
“Trus, bagaimana rencana
selanjutnya?”, tanyaku.
“Itulah, Mas. Karena sudah
kelas enam dan hampir ujian, kami bingung bagaimana dengan nasib anak-anak ini.
Kami dengar di Sanggar ada kegiatan belajar pagi hari, makanya tadi saya tanya
sama Mas Heru, apa Rahmat dan Rini bisa ikut belajar di Sanggar”, jelas ibunya
Rahmat.
“Lah, bagaimana dengan
Rahmat dan Rini sendiri? Kalian berdua mau belajar di Sanggar?” tanyaku.
“Soalnya pilihan belajar
di Sanggar harus dari Rini dan Rahmat sendiri. Kalau orang tua yang nyuruh
nanti bisa jadi anak-anak ini ga ada semangat untuk belajar di Sanggar”,
lanjutku.
“Kami masih mau belajar,
Mas. Walau sudah ga bisa sekolah di tempat yang lama, tapi kami ga mau
menyerah. Kami mau usaha untuk belajar untuk masa depan kami”, jawab Rini.
“Belajarnya hari apa saja,
Mas?”, tanya Rahmat.
“Kalau itu tergantung dari
Rini dan Rahmat”, sahut Hendrik.
“Iya, karena yang mau
belajar Rini dan Rahmat, maka kalian yang buat jadwal dari mulai belajar sampai
selesainya termasuk hari apa saja belajarnya”, lanjutku.
“Mulai Senin saja.
Belajarnya Senin sampai Jumat”, sahut Rini dan Rahmat berbarengan.
“Jam 9.00 WIB sampai 12.00
WIB saja. Soalnya kalau siang, aku jaga adikku”, lanjut Rini.
“Ya sudah, kalau Rini dan
Rahmat sudah berani buat jadwal, berarti kalian harus menepatinya. Tentang
bahan yang dipelajari nanti kita diskusikan bersama-sama”, jawabku.
“Betul, Mas, biar Rini dan
Rahmat belajar tanggung jawab. Mereka berani janji maka mereka harus bisa
nepati”, sahut ibunya Rini.
“Trus, begini, Bu. Kami di
Sanggar akan bantu untuk belajarnya Rini dan Rahmat. Lalu kalau ada hal lain
yang perlu diurusi oleh orang tuanya, kami minta ibunya Rini dan ibunya Rahmat
juga ikut mengurus”, jelasku.
“Iya, Mas. Kami sadar ini
anak kami. Kalau ada yang perlu kami urus untuk mereka, mas Heru dan mas
Hendrik beritahu saja. Nanti kami pasti akan ikut mengurus”, jawab ibunya
Rahmat.
Setelah mengobrol banyak
dan memastikan banyak hal untuk persiapan belajarnya Rini dan Rahmat di
Sanggar, aku dan Hendrik undur diri.
Dalam
perjalanan pulang, terus terngiang dalam telingaku perkataan seorang teman
bahwa pendidikan adalah Hak semua insan manusia (anak-anak) di bumi Indonesia
ini. Namun, banyak aturan, kebijakan, termasuk kondisi di lapangan yang membuat
Hak untuk mendapat pendidikan ini terpasung. Aku berharap dapat terus membantu
menyuarakan dan memperjuangkan jeritan para orang tua untuk pendidikan
anak-anak mereka yang terhalang oleh tembok-tembok aturan, kebijakan, dan
kepentingan.
Sambil menyalakan motor,
aku berujar dalam hati, “ Selamat untuk Rini dan Rahmat yang telah berani
berjuang untuk terus belajar. Mereka berani mengambil pilihan untuk masa depan
mereka”.
Oleh : Heru
Dimuat dalam buletin Fides et Actio
edisi No.55 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar